Pengantar
Kebakaran hutan merupakan
fenomena alam yang telah berlangsung selama beribu-ribu tahun yang lalu, bahkan
telah menjadi ciri hutan-hutan yang ada di Indonesia. Bukti ilmiah berdasarkan
pendataan karbon radioaktif dari endapan kayu arang di Kalimantan Timur
menunjukan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah
berulang kali terbakar paling sedikit sejak 17.500 tahun yang lalu, selama
beberapa periode kemarau yang berkepanjangan, yang merupakan ciri utama periode
Glasial Kuarter (Goldamer, 1990; FWI-GFW, 2001).
Kejadian kebakaran
hutan pada mulanya berskala lebih kecil dan lebih tersebar dengan frekuensi
yang relatif lebih jarang dan waktu lebih panjang berbeda jika dibandingkan
dengan kebakaran yang serupa pada tiga dasawarsa terakhir. Meningkatnya
frekuensi dan intensitas kebakaran hutan ini diduga kuat karena besarnya proses
deforestasi yang terjadi selama kurun waktu tersebut.
Kawasan hutan yang
pernah terjamah dan dibuka berubah menjadi hutan sekunder yang memiliki
kerapatan tajuk relatif lebih renggang dangan keragaman jenis lebih rendah jika
dibanding dengan hutan primer. Pada hutan sekunder intensitas sinar matahari
yang masuk sampai ke lantai hutan lebih besar, menjadi faktor utama terhadap
meningkatnya suhu lingkungan dan penurunan kelembaban udara, sehingga hutan
peka terhadap kebakaran. Pada sisi lain proses deforestasi menyisakan limbah
hutan berupa potongan-potongan kayu dan ranting-ranting mati, serta menumbuhkan
semak belukar yang merupakan unsur utama dalam proses kebakaran.
Pada tahun 1994
untuk pertama kalinya kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia
menyeberang ke negara tetangga terutama ke Singapura dan Malaysia (BAPPENAS,
1999; FWI-GFW, 2001). Dengan kejadian pada tahun 1994 ini negara-negara di Asia
Tenggara (ASEAN) mulai membicarakan kebakaran hutan di Indonesia sebagai
masalah regional (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998;
FWI-GFW, 2001).
Fenomina El-Nino
kembali muncul pada 4 tahun kemudian yakni, pada tahun 1997/1998, dimana
kebakaran hutan terjadi di 25 propinsi di Indonesia dengan fokus di Kalimantan
dan Sumatera. Dilaporkan berdasar rekaman SATELIT NOAA titik api (hot spots)
mulai terlihat pada bulan Juli 1997 dalam jumlah yang relatif kecil kemudian
terus meningkat secara dramatis pada bulan Agustus dan September. Api
mulai reda pada bulan Desember, namun mulai muncul kembali pada bulan Januari 1998
dan mencapai puncaknya pada bulan Maret-April kemudian reda di bulan Mei 1998.
Luas lahan yang
terbakar dalam kebakaran hutan tahun 1997/1998 ini mencapai hampir 9.8 juta
hektar, kabut asap tebal yang dihasilkan menyelimuti areal hingga jarak 1.000 mil
pada kawasan seluas 1 juta kilometer. Kabut asap juga telah mengakibatkan jarak
pandang menjadi terbatas antara 20-50 meter sehingga banyak penerbangan dari
dan ke daerah Kalimantan dan Sumatera dibatalkan. Bahkan penyebaran kabut asap
tersebut sampai ke Singapura dan Malaysia yang berdampak pada memburuknya
hubungan bilateral dengan kedua negara tersebut.
Belum lagi hilang
bekas duka kebakaran hutan tahun 1997/1998, El-Nino kembali melanda negeri ini
pada tahun 2000. Kebakaran hutan kembali terjadi pada areal 2.960.000 hektar
(hutan seluas 616 hektar dan lahan perkebunan seluas 12.830,76 hektar) di 7
propinsi. Walaupun luas lahan yang terbakar relatif lebih kecil jika
dibandingkan dengan kebakaran hutan tahun 1997/1998, namun kabut asap tebal
yang dihasilkan menyebar jauh sampai ke daerah Thailand bagian Selatan.
Sejak tahun 2001
sampai sekarang, fenomena El-Nino dilaporkan belum terjadi, sehingga kebakaran
hutan dan lahan relatif terkendali. Sajak tahun itu (1999-2005), rata-rata
luas lahan yang terbakar hanya berkisar 11,737.14 hektar (Departemen Kehutanan;
WWW/Wikipedia, 2010).
Penyebab Kebakaran
Hutan
Secara umum dapat
dilihat bahwa proses reaksi oksidasi exothermic yang melibatkan 3 unsur utama
(oksigen, bahan bakar, api/faktor pemicu) yang terjadi di kawasan hutan dan
lahan disebabkan oleh 2 faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia.
Dalam proses kebakaran hutan kedua faktor ini berfungsi sebagai unsur pemicu.
Menurut Widodo (2005) kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia hampir 99 %
disebabkan oleh faktor manusia baik karena kelalaian maupun kesengajaan.
Faktor-faktor penyebab kebakaran hutan tersebut secara rinci adalah sebagai
berikut: kegiatan konversi lahan menyumbang 34 %, peladangan liar 25 %,
pertanian 17 %, kecemburuan sosial 14,5 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1
% yang disebabkan oleh alam.
Diagram di atas
memberikan gambaran bagi kita bahwa keberadaan api sebagai unsur pemicu banyak
disebabkan oleh aktivitas/kegiatan manusia sementara yang disebabkan oleh alam
hanya 1 % saja. Hal ini berarti pada awalnya keberadaan api pada dalam proses
kebakaran hutan merupakan faktor yang disengaja oleh manusia, walaupun pada
awalnya manusia tidak sengaja untuk membakar hutan (atau karena
kelalaian).
Sebagai contoh kita
ambil kebakaran hutan karena api sisa api unggun saat manusia berkemah di dalam
kawasan hutan dan api yang sengaja dibuat untuk membakar/mengasapi ikan/daging
hasil buruan. Pada dua contoh tersebut awalnya keberadaan api disengaja dan
dibutuhkan oleh manusia serta dalam kondisi terkontrol/terkendali sehingga
memberi manfaat. Setelah kegiatan selesai manusia tersebut tidak mengira bahwa
api yang dia tinggalkan dalam keadaan hidup, terterpa angin atau binatang
sehingga menjalar kebenda-benda lain seperti rumput kering, semak dll, yang
semakin lama-semakin membesar dan sulit dikendalikan.
.
Dampak Kebakaran
Hutan
Berbicara dampak
maka akan menyangkut dua hal, yaitu positif dan negatif. Dampak positif
merupakan akibat dari adanya sebab yang membawa manfaat, baik secara langsung
maupun tidak langsung dirasakan oleh manusia. Sedangkan dampak negatif
diartikan sebagai akibat dari adanya sebab yang tidak membawa manfaat atau
bahkan merugikan kehidupan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak positif
kebakaran berkaitan erat dengan manfaat api dalam kehidupan sehari-hari,
sementara dampak negatif merupakan hal-hal yang merugikan karena adanya api.
Dalam kehidupan kita pasti terasa ada yang kurang jika tidak ada api. Jika
tidak ada api maka kita tidak dapat memperoleh makanan atau minuman yang
steril, kehidupan malam terasa gelap gulita dan lain-lain. Dalam kehidupan
kita, api akan sangat bermanfaat manakala dia bisa kita kendalikan sehingga
dapat dijadikan alat atau sarana untuk pemenuhan kebutuhan kita seperti untuk
lampu penerangan, kompor dll. Sebaliknya jika api tidak dapat kita kendalikan
maka bisa dipastikan dia akan menimbulkan dampak negatif bagi kita dan
lingkungan kita seperti kebakaran rumah, kebakaran hutan dll.
1. Dampak positif dari kebakaran hutan dapat diperoleh dengan syarat-syarat sebagai berikut : Proses kebakaran dapat dikendalikan, artinya tingkah laku api yang tercipta dapat dikontrol secara seksama sehingga tidak menjalar atau meloncat (api loncat) keluar daerah yang dimaksud. Untuk memenuhi syarat ini maka hendaknya:
·
Tidak melakukan
pembakaran pada periode yang terlalu kering.
·
Tidak membakar pada waktu angin bertiup kencang,
·
Membuat sekat bakar sebelum melakukan pembakaran.
2. Terjadi pada daerah yang tidak
begitu luas. Hal ini untuk membatasi pergerakan api agar mudah dikontrol dan
dikendalikan, sehingga tidak menimbulkan tingkah laku api yang ekstrim (tidak
terkendali).
3. Frekuensi
terjadinya kebakaran pada suatu tempat yang sama tidak terlalu sering.
Dengan demikian
kebakaran pada kawasan hutan dan sekitarnya akan memberikan dampak positif jika
dapat dikendalikan, tidak terjadi pada areal yang luas dan tidak terjadi pada
tempat yang sama secara terus-menerus. Sementara dampak negatif ini timbul
jika proses kebakaran tidak dapat dikendalikan dan keluar dari areal yang
disengaja untuk dibakar, sehingga manfaat yang diharapkan berubah menjadi
bencana yang merugikan dan bahkan mengancam keselamatan jiwa. Besar atau
kecilnya dampak negatif ini sangat bergantung pada besar/kecilnya skala
kebakaran, semakin besar skala kebakaran semakin besar pula dampak negatif
yang ditimbulkan.
Menurut International
Development Research Centre & Institute of Southeast Asian Studies Singapore,
(1999) yang dikutip Departemen Kehutanan dan ITTO (2003),
setidaknya kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan tahun 1997/1998
mencakup aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi, politik dan kesehatan.
Sementara menurut BAPPENAS (1999) dalam FWI-GFW (2001) total kerugian dari
semua aspek tersebut jika dikonversi kedalam nilai finansial mencapai angka US$
9.298,00- juta.
Dari angka tersebut ternyata kerugian
terbanyak dialami oleh sektor kehutanan, baik berkaitan dengan manfaat hutan
secara langsung (tangible) seperti nilai tegakan/kayunya dan non kayu, maupun
manfaat tidak langsung (in tangible) seperti penyimpanan karbon, penanggulangan
banjir, dll. Total kerugian kebakaran hutan khusus sektor kahutanan pada
kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 mencapai nilai US$ 6.151,00 juta
(lihat dalam tabel).
Tabel Penafsiran Nilai Kerugian Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan
Upaya Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan
Walau peristiwa
kebakaran hutan baru tercatat sejak tahun 1982, namun sebenarnya usaha-usaha
pencegahan dan penanganannya telah dilakukan jauh sebelum tahun tersebut. Hal
ini dapat dilihat dalam dokumen-dokumen penting kenegaraan yang mengisyarakat
ada penanganan terhadap peristiwa kebakaran hutan. Dalam catatan sejarah upaya
penanganan kebakaran hutan di Indonesia telah dilaksanakan sejak sebelum
kemerdekaan, yaitu pada masa Pemerintah Kolonial Belanda sampai sekarang.
Untuk lebih
memudahkan penanganan secara hukum Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan telah mengatur penanganan kebakaran hutan. Berdasarkan Pasal 50 Huruf
d, UU No 41 Tahun 1999 disebutkan “Setiap orang dilarang : membakar hutan”.
Pelanggaran terhadap pasal 50 Huruf d, tersebut di atas karena kelalaian
dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling
banyak Rp 1,5 milyar.
Pada tahun 2001
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4/2001 tentang
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan
Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Beberapa catatan penting yang terdapat
dalam PP Nomor 4 tahun 2001 adalah:
1.
Bahwa setiap orang dilarang untuk melakukan
kegiatan pembakaran hutan/lahan (pasal 4).
2.
Setiap orang wajib untuk mencegah dan
menanggulangi kebakaran hutan atau lahan dilokasi kegiatannya (pasal 12 dan
pasal 17).
3.
Setiap orang wajib melakukan
pemulihan terhadap akibat dari kebakaran hutan dan atau lahan (pasal 20).
4.
Secara institusional kewenangan
pengendalian kebakaran hutan dilakukan secara berjenjang, yaitu:
·
0 komentar:
Post a Comment